Senin, 01 April 2013

Cerpen - Tanpa Batas


Cerpen Tanpa BatasKu parkirkan mobil Xenia Sportku di depan halaman rumah yang tampak sepi dan lengang. Cahaya lampu kendaraanku masih menyorot beranda rumah itu seiring mataku mengitari sekitar. Sepertinya tidak ada orangnya, karena ku lihat lampu ruang tamu rumah itu mati. Ku buka pintu mobilku lalu turun, kemudian beranjak menuju rumah indah yang bertingkat minimalis itu. Sesekali aku memperhatikan rumah tetangga dari balik tembok bonsai yang juga sepi karena ini sudah malam. Tapi belum terlalu larut. Atau memang orang-orang komplek disini kerap di dalam rumah jika sudah jam segini? Aku juga tidak tahu.

Ku tekan bel berulang kali. Tidak ada jawaban. Alamat yang tertera pada selembar note kecil di tangan kiriku benar. Nomornya juga sesuai. Karena menunggu cukup lama, aku menelfon nomor yang tertera di note paling akhir. Nada sambungnya terdengar melow.
“Halo?” terdengar suara di seberang sana. Aku langsung menyahut.
“Halo, saya sudah di depan rumah ini. Anda di mana?”
“Oh, bentar, yah. Saya masih di jalan. Ini mau pulang, bentar lagi sampai, kok!”
“Baiklah…”
Pembicaraan terputus. Aku duduk di kursi rotan menghadap ke halaman rumah ini. Terlihat kolam ikan kecil ada di depan kamar utama. Lampu taman berjejer rapi di dekat pagar bonsai di setiap sisi rumah. Lalu rumput jepang tumbuh hijau menghiasi halaman dan bunga-bunga beraneka warna tumbuh di sudut-sudut pagar. Benar-benar indah. Sepertinya aku akan betah disini. Semoga.
Tinnn!
Mataku tertuju pada sepeda motor yang masuk kehalaman dan langsung menuju garasi. Seorang lelaki muda membuka helm lalu meletakkannya diatas tangki seiring mengibakkan rambut kasualnya dan menatapku tersenyum. Lelaki itu berjalan kearahku dengan langkah coolnya.
“Maaf saya keluar tadi, saya kira kamu datangnya besok…” tukasnya menjabat tangangku. Aku menyalami seiring melempar senyum padanya.
“Kok sendirian?” lanjutnya dan aku hanya mengangguk.
“Lho, bukannya ada dua orang yang mau ngekost disini?” ucap lelaki itu seraya membuka pintu utama.
“Teman saya nggak jadi kost disini, Mas..” kataku datar.
“Jangan panggil, Mas. Panggil Raga, aja. Toh, kita masih seumuran.” “Kenapa dia ngga jadi kost disini?” Raga kembali bertanya.
“Dia nggak jadi kuliah…”
“Kok bisa?”
“kurang tahu juga sih, katanya ada tawaran kerja gitu. Terus, sayang aja kalau di lewatkan…”
“Ooo…”
Pintu terbuka, lelaki itu menyalakan saklar dan mataku langsung di sambut dengan suasana ruangan yang elegan dan benar-benar indah. Hmmm, Insya Allah aku betah deh kalau begini tempatnya. Tenang, wangi, bersih, dan…
“Sempurna…” lirihku.
“Apanya yang sempurna?”
“Ng-nggak, nggak apa-apa, rumahnya bagus…” tukasku malu.
Raga mengajakku ke lantai nomor dua. Kami berhenti tepat di depan pintu berwarna putih. “Nah, ini dia kamarmu…” ucapnya membukakan pintu. Aku langsung masuk. Wau, ini benar-benar indah. Kamarnya sangat cocok dengan seleraku. “Ini kunci duplikatnya. Dan ini kunci bagasi depan, mobilmu nanti di taruh disana saja.” kelakarnya lalu beranjak. Saat di depan pintu, Raga berbalik.
“Kalau ada perlu apa-apa, jangan sungkan. Ngomong aja…”
“Iya, Mas…” sahutku tersenyum.
“Panggil Raga aja.”
“Oh, iya. Sory lupa. Raga!”
“By the way, kamu Vicky atau Andre?” Agaknya Raga baru sadar kalau dia belum tahu persis namaku. Atau mungkin, dia hanya memastikan nama salah satu dari dua orang yang rencananya ingin mengekost di rumahnya ini.
“Aku Andre. Vicky itu yang nggak jadi kuliah…”
“Oh. Andre, yah? Nama yang bagus. Sebagus parasmu…”
“Thank’s…” kelakarku tersipu. Mataku dan mata Raga bertautan agak lama. Dia sesekali tersenyum dan menatapku dengan tatapan yang aku rasa agak gimana, gitu. Tapi, itu mungkin hanya perasaanku saja. Semoga dia bukan seperti apa yang aku pikirkan. Kembali dia tersenyum. Lalu dia bertanya dan cukup membuatku terkejut.
“Kamu nggak takut sama hantu, ‘kan?”
“?”
***
Tak terasa sudah dua bulan aku tinggal di rumah ini. Tentunya dengan segala macam problem dan kesan-kesan yang tidak bisa aku ceritakan semuanya di dalam tulisan ini. Bukan apa apa, aku khawatir saja kalau admin di Cerpenmu.Com jengah membaca pengalaman pribadiku di dalam situsnya. Bisa-bisa aku di banned, lebih parah lagi tulisanku tidak di post. Jangan sampai deh. Love you, Min. Wakakaka.
Malam ini aku duduk di depan meja belajar. Lampu temaram kadang membuat aku harus lebih dekat lagi guna membaca lebih jelas tulisan yang ku gores di atas buku tulis. Meski besok libur, aku ingin menyelesaikan tugas secepatnya. Dan hari esok aku gunakan untuk rehat dan tidak berkutat dengan tugas-tugas kuliah yang menumpuk. Jangan tunda sampai besok apa yang dapat kita kerjakan sekarang ini.
Kreeeek.
Suara pintu kamarku terbuka. Aku melengos. Raga tersenyum saat dirinya masih berdiri di depan pintu. Ia mengenakan pakaian rapi dan agak resmi. Apa dia mau kondangan? Atau jalan-jalan? Atau?
“Masuk, Ga!” kataku seramah mungkin.
“Sibuk kayaknya…”
“Nggak juga, tanggung ada tugas dikit dari dosen.”
“Udah makan belum?”
“Hmmm..” aku menggeleng.
“Kita keluar yuk?” tukasnya seraya perlahan masuk ke dalam kamarku.
“Kemana?”
“Aku ada tempat hang out bagus. Kalau kau mau, kita bisa kesana malam ini. Aku traktir deh…”
“Jauh nggak tempatnya?”
“Nggak, kok. Masih dekat sini juga. Di sebelah pantai Selandri.”
“Oh, dekat Selandri, kayaknya boleh juga tuh. Tapi, aku mandi dulu yah?”
“Cih! Jam segini belum mandi?” tanyanya menggeleng.
“Aku biasa mandi malam…” Lelaki itu melebarkan bibirnya seiring mengangguk pelan. Ku tutup bukuku lalu meraih handuk yang tergantung di lemari pakaian.
“Aku tunggu di depan.”
“Oke!”
***
Setelah semua di rasa cukup, aku mengambil kontak mobil seiring menggamit sweater merahku di atas ranjang. Aku pun keluar kamar seiring mengenakan sweater itu agak terburu-buru. Aku rasa Raga menungguku terlalu lama. Kasihan dia.
“Kok bawa helm, Ga?” tanyaku saat melihat pemuda itu menyandang helm di tangan kirinya. Dia hanya tersenyum. Garing.
“Pake mobilku aja…” lanjutku lagi.
“Nggak ngerepoti nih, Ndre?”
“Nggak, lah. Niatku juga tadi pake mobil, kok. Lebih save…”
“Oke deh, kalau begitu. Biar lebih mudah bawa aku-nya nanti.”
Sejurus kemudian aku dan Raga melaju dengan kecepatan sedang. Kami nyaris mendekati pintu gerbang komplek. Chiiiiiiit! Mendadak aku memijak rem saat teringat sesuatu. Sontak Raga tersentak dan menatapku kaget.
“Ada apa, Ndre?” tanyanya agak cemas.
“Sory, Ga! Dompetku ketinggalan…”
“Ya udah langusung berangkat aja, aku bawa uang kok.”
“Aku tahu. Tapi aku nggak biasa aja pergi nggak bawa apa-apa. Kita balik bentar yah?”
“Kalau langsung berangkat aja gimana? Aku lho yang traktir kamu…”
“Bukan masalah trakrtirannya. Bentaaaar, aja. Please.”
“Ya udah…” tukasnya dengan wajah agak kurang berkenan.
Sesampainya di rumah, aku hanya memarkirkan mobil di jalan aspal. Lalu membuka pagar dan berlari kecil menuju teras. Tanpa sengaja, aku melihat kearah bagasi rumah.
‘Kok, motor Raga jadi jelek gitu.’ Pikirku dalam hati. Warnanya agar pudar dan sepertinya motor itu seperti sering di bawa ngebut dan jatuh berkali-kali. Memang selama ini aku kurang memperhatikan barang-barang milik Raga. Tapi kalau motor aku sering lihat, dan tidak seperti sekarang ini kondisinya. Karena penasaran, aku mendekat. Benar. Motor Raga sepertinya sudah lama ringsek. Bahkan catnya mengelupas dan ada warna kusam di bagian tangkinya. Ah, mungkin karena malam saja jadi warnanya begitu. Aku membuka pintu dan langsung masuk kedalam rumah. Cuuusss. Sontak aku merinding dan sedikit parno ketika di sambut dengan wangi sesuatu. Aroma kantil dan melati memenuhi ruang tamu. Ada hal yang membuatku terkejut, agaknya rumah ini penuh dengan debu dan sarang laba-laba yang seolah jarang di tempati. Kata Raga, dia juga sering mendapati hal yang sama waktu pertama datang kerumah ini. Dan banyak cerita mistis yang membuat bulu kudukku berdiri dengan sendirinya. Brrrrrr! Segera aku mengambil dompet dan keluar kamar. Di ruang tengah, aku di kejutkan dengan suara lirih seorang lelaki yang minta tolong. Aku semakin merinding ketika suara itu mendekatiku. Tanpa sengaja, pandanganku tertuju pada foto Raga yang terpajang di bufet dengan memakai seragam SMA, tiba-tiba wajah Raga yang tampan dan berseri itu memudar dan jadi pucat pasi, lalu foto itu berubah menjadi foto yang penuh dengan bercak darah. Praaanngg! Foto jatuh dengan sendirinya. Aku berteriak dan segera berlari keluar.
***
“Sorry lama…” kataku sembari masuk ke dalam mobil. Nafasku memburu.
“Nggak apa-apa. Emang tadi nagapain sih? Kok kayak berteriak gitu. Mana nafasmu ngos-ngosan lagi. Ngeliat setan?” tanyanya terkekeh. Seketika mobil melaju.
“Nggak, tadi aku nggak sengaja lihat motormu, kok agak aneh gitu, yah. Kayak berubah jadi jadul gitu…”
“Aneh gimana?”
“Kayaknya, motormu itu udah rusak. Tapi entahlah…”
“Oh, motor itu pernah jatuh, Ndre! Bahkan udah pernah buat orang celaka…”
“Celaka?”
“Ya. Motor itu di pinjam kakakku , terus nggak sengaja numbur orang sampai mati. Karena jalan sepi, kakakku kabur. Di rumah dia ceritain semuanya. Habis itu, aku sering apes bawa motor itu…”
“Waduh. Ngeri banget ceritamu…”
“Wkakakaka….” sontak aku terkejut saat Raga tertawa lepas karena menipuku.
“Kampret, kamu Ga! Bohong itu dosa…” kataku selagi menyetir dengan kecepatan agak kencang.
“Tapi, Ga! Tadi aku ngerasa ada hal mistis di rumahmu.”
“Hal mistis apa?”
“Waktu aku masuk ke dalam, aku mencium bunga kantil dan melati. Terus, waktu keluar kamar, aku mendengar ada suara orang laki-laki merintih minta tolong, suara itu mendekati aku. Dan yang terakhir, aku lihat foto SMA-mu yang berubah jadi pucat dan jatuh sendiri. Hiiiii, aku merinding sampai sekarang….” kelakarku masih shock.
“Hahahaha, namanya rumah itu banyak hantunya.”
“Maksudmu?”
“Maksudku, itu rumah hantu, dan aku adalah hantu, hihihihihiii.” Raga memasang mimik menakuti-nakutiku dan ia tertawa lepas seperti setan. Begini, nih kalau kumat sarapnya. Raga terkekeh seraya mencubit pipiku. Aku jadi bad mood.
***
“Masih jauh tempatnya?” kataku sambil melihat sebuah mobil di depan sana yang tiba-tiba saja mengebut seperti menghindari sesuatu.
“Nggak terlalu jauh, paling lima puluh meter lagi…”
Aku dan Raga sampai di dekat jalan tikungan dan betapa terkejutnya aku saat melihat seorang lelaki terbaring jauh dari sepeda motornya dan kejang-kejang akibat susah bernafas.
“Ga. Orang itu kecelakaan. Gimana ini?” aku panik saat itu juga.
“Ayo, bantuin. Cepat…” Raga juga tak kalah paniknya denganku. Serta merta kami turun dan melihat sosok lelaki yang berlumuran darah itu tewas seketika di tempat itu juga. Pikiranku langsung tertuju pada mobil sedan yang melarikan diri tadi. Keparat! Dia tidak bertanggung jawab. Raga mendekati lelaki yang wajahnya tidak di kenali itu. Helmnya pecah dan menjadi serpihan kecil.
“Gi-gimana ini?” tanya Raga gemeteran.
“Kita bawa ke rumah sakit aja?”
“Jangan…”
“Jangan! Jadi kemana?” kataku panik.
“Kita bawa ke kantor polisi.”
“Kok, ke kantor polisi?!”
“Sepertinya aku kenal orang ini. Dia adik seorang polisi di Polres dekat kota.”
“Kamu yakin?”
“Yakin, Ndre, aku kenal plat motornya. D 1344 MH. Dia adik polisi bernama Rudi. Aku kenal sama Rudi.”
“Ya sudah, kita bawa dia kerumahnya. Cepat Ga, letakkan mayatanya di jog belakang…”
“Tapi dia banyak darahnya, Ndre! Nanti mobilmu kotor…”
“Bisa di cuci…”
“Bukan hanya itu. Kau dan mobilmu nanti bisa apes kalau bawa mayat…”
“Tahayul. Ambulance bawa mayat dan orang ninggal, tapi aman-aman aja. Udah lah, nggak usah banyak komentar, kita harus cepat bawa orang ini ke rumahnya. Terus kau segera hubungi kakaknya…”
“Tapi, Ndre…”
“Ahh, nggak usah tapi-tapian. Ayoh…”
***
Aku dan Raga batal untuk makan malam di luar. Demi mengantarkan mayat ini segera ke keluarganya, aku tidak main-main tancap gas mobilku. Perjalanan terasa begitu lama dan kami tidak kunjung sampai di tempat tujuan. Seolah kami hanya berputar-putar di jalan ini. Sekarang aku benar-benar cemas dan khawatir. Saat memasukkan mayat naas itu kedalam jog belakang mobil beberapa saat yang lalu, aku melihat seekor ular weling melintang lalu berhenti di depan mobil dan menghalangi laju kami. Kata orang jawa, itu tandanya aku akan menemui sial atau apes. Aku coba menepisnya jauh-jauh. Semoga niat baikku di restui Tuhan.
“Kok, jalanan makin sepi, Ga?” bukannya tadi rame-rame aja.”
“Ya, Ndre, aku juga bingung. Kayaknya kita nyasar…”
“Aneh, tadi perasaan kita nggak lewat hutan ini kok. Tapi, kenapa kita bisa nyasar?” aku mulai panik.
“Di depan ada simpang, Ndre. Kita pilih jalan yang mana?” tanya Raga ketakutan. Aku melihat board trafic yang menunjukkan arah, ke selatan menuju Bandung dan yang utara ke Jakarta. Ini daerah mana? Aku semakin panik. Sementara aku melihat dari kaca spion mayat di belakang tergeletak mengenaskan. Dia benar-benar tenang sepertinya. Aku pilih ke arah Bandung. Kecepatan ku tambah. Jauh di depan sana, aku melihat sosok seorang lelaki berdiri mengayunkan tangannya. Sepertinya seorang dia mau menumpang. Tapi apa ada orang menumpang di tengah hutan begini?
“Astagah! Astagfirullah. Ya Allah…” teriak Raga membuatku cemas. Sontak aku ikut cemas dan panik bukan kepalang. Orang yang melambaikan tangan ke arah mobil ini ternyata berubah mejadi sosok pocong berwajah hancur. Aku merinding. Kain kafan yang membungkus pocong itu penuh dengan debu dan darah. Yang membuatku lebih merinding. Mata pocong itu keluar dari kepalanya dan menggantung nyaris lepas. Sial. Dimana ini?
“Ngebut, Ndre…” sentak Raga membuatku jadi semakin panik. Aku pun segera tancap gas. Mobil masih menyusuri jalan aspal di tengah hutan. Pocong itu melompat-lompat dan mengejar kami. Aku terus mengebut. Pocong itu melompat semakin tinggi dan kini terbang melintang di atas mobil. Aku merinding, dan akhirnya ku tambah gas. Braaak. Mobil ini menumbur sesuatu. Hening. Mataku dan mata Raga saling berpandangan.
“Pocongnya, kamu tabrak, Ndre…” aku mengangguk.
Whuaaaaa! Wajah pocong itu menempel di kaca mobil dan darah menetes mengotorinya. Aku menyetir dengan berbelok-belok agar pocong keparat itu jatuh dan menghilang. Dalam hati aku terus membaca ayat kursi. Alfatihah dan wirid.
“Coba, kau telefon kakaknya mayat ini, bilang kita kesasar…” panikkku.
“Udah, nomornya ngak aktif. Lagian nggak ada sinyal disini.”
“Kamu tahu jalan ini ada di daerah mana?”
“Nggak tahu, Ndre. Tempat ini asing kayaknya. Aku belum pernah kesini.”
Aku terus mengemudikan kendaraan dengan pikiran mengawang. Sepertinya benar kata Raga. Aku menemui keapesan dan kesialan. Sudah dua kali aku dan Raga menemui jalan yang sama. Dua simpang yang selalu menujukkan arah Bandung dan Jakarta. Tapi anehnya, setelah melewati dua jalur itu, kami menemui tempat yang sama. Dua simpang yang tidak ada ujungnya. Tanpa batas. Aku nyaris hilang akal. Logikaku tidak jalan dan pikiran rasionalku agaknya terganggu. Pocong itu kini sudah menghilang. Namun, bercak darah di kaca mobil terus menetes meski secara otomatis kaca itu di bersihkan. Karena hal itu terulang terus, aku tidak memperdulikanya lagi.
***
“Kita balik aja ke jalan semula.” Kata Raga mensugestiku.
“Gimana mau balik, kalau kita cuma muter-muter disini…” jawabku snewen.
“Terus kita kita gimana sekarang?”
“Apa yang kau bilang itu beneran, Ga?” tanyaku menatapnya.
“Maksudmu?”
“Mayat yang kita bawa ini, bikin apes?” mataku melotot menatap Raga.
“Terus, kita harus membuang mayat ini?” tanya Raga tidak setuju. Aku mengangguk.
“Gila! Kamu, Ndre…”
“Kita nggak punya pilihan. Siapa tahu dengan membuang mayat ini, kita aman. Dan bisa cari jalan pulang…”
“Nggak ah, kasian Rudi, pasti dia nyariin adiknya…”
“Kalau begini terus? Kapan kita bisa pulangnya. Menghubungi nomor Rudi aja nggak bisa. Cari jalan keluar juga nggak bisa. Apa kita mau mati di tempat ini?” tanyaku kesal. Kesal karena sudah berjam-jam kami tersesat. Aku mengurangi kecepatan. Jalan ini terasa sunyi dan lengang. Rintik-rintik hujan mulai tampak menjatuhi kaca mobil. Aku semakin kuatir.
“Kalau memang itu mamumu. Kita taruh mayat ini di tempat itu aja gimana?” tanya Raga seraya menujuk ke arah bangunan yang entah sejak kapan ada di simpang jalan itu. Aneh.
“Lho, perasaan, tadi nggak ada rumah itu…” kataku takut.
“Sudahlah, Ndre jangan banyak berfikir, sejak tadi aku juga nggak habis fikir dengan kejadian yang kita alami. Kita coba keluarkan mayat ini. Terus cari jalan keluar. Kalau kita selamat, kita panggil Rudi dan anggotanya polisi lainnya ke tempat ini, lalu mayat naas ini bisa segera di kebumikan…”
“Boleh juga idemu.”
***
Setelah melakukan apa yang Raga sarankan. Kami pun melaju lebih kencang lagi. Kali ini benar, kami tidak berputar-putar di tempat itu. kami menemui jalan baru yang lurus dan seolah tanpa batas. Jalanan naik turun dengan liku-liku ekstrim di tengah hutan. Kami melintasi persawahan. Aku lega, agaknya kami akan memasuki perkampungan dan bisa menanyakan keberadaan tempat yang kami lintasi ini. Kebetulan di depan sana, ada sebuah pos kecil. Dan terlihat beberapa remaja membuat api unggun dan ada diantara mereka ada yang bermain gitar. Aku tancap gas. Saat hendak memasuki kampung itu, tiba-tiba kabut tebal datang dan membuat jarak pandang hanya beberapa meter saja. Setelah yakin dengan tempat di mana pos itu berada aku menghentikan mobil.
“Kok. Sepi, Ndre?” tanya Raga bingung. Aku juga bingung. Mata kami mengitari tempat kosong yang hanya di tumbuhi pepohonan karet atau rambung.
“Tadi kamu lihat pos dan anak-anak remaja ‘kan?” tanyaku pada Raga. Dia mengangguk. Glek. Raga menelan ludah karena takut.
“Kayakanya, kita belum aman, Ndre. Ayo kita maju lagi…” lirihnya dengan keringat yang semakin deras menetes. Air conditioner kendaraan ini seolah tidak berfungsi. Aku masih merasakan panas dan cemas. Takut dan limbung.
Dubrak! Gebraaaak! Taaar! Sontak aku dan Raga benar-benar panik dan kacau. Seolah mobil kami ini di serang dan di hantam benda keras oleh masa yang entah dari mana datangnya. Lebih aneh lagi, aku memang merasakan benturan benda keras itu di mobilku. Tapi tidak ada yang hancur atau lecet sedikitpun. Dan orang yang memukul mobil ini juga tidak kelihatan. Aku merinding. Segera aku tancap gas dan lari tunggang langgang meninggalkan tempat misteri itu. Tanpa batas. Itulah yang kerap aku rasakan.
Sejurus kemudian mobil menuruni jalan curam. Aku mengurangi kecepatan. Tiba-tiba mobil tidak seimbang seperti tergelincir seiring suara ledakan ban terdengar membahana di tengah hutan ini. Mobilku nyaris oleng dan masuk ke dalam jurang. Aku berhenti mendadak.
“Kayakanya ban mobilnya pecah, Ndre!” tukas Raga menatapku panik. Entah sejak kapan aku melihat wajah Raga yang berubah menjadi pasi dan dingin. Sepertinya dia ketakutan luar biasa. Mata Raga membuatku takut. Merah dan agak memar.
“Temani aku lihat, Ga?” pintaku padanya. Raga mengangguk. Lalu kami turun dari mobil bersamaan.
“Nggak ada yang pecah, bannya!” kataku setelah memastikan semuanya baik-baik saja.
“Aneh…” decak Raga memegang jidatnya. Ku kencangkan tali sweater merahku erat-erat demi menahan dinginnya angin malam. Aku dan Raga kembali masuk kedalam mobil. Ku nyalakan kontak.
Zeset Ztztztz Ztztztz. Tidak mau menyala. Ku nyalakan sekali lagi. Masih sama.
“Mogok, Ga!” aku menatap matanya. Nafas Raga menderu panik. Kami tersudut di tengah hutan. Di jalanan sepi dan hilang. Tanpa batas. Raga menggigil kedinginan. Aku melepas sweaterku dan ku biarkan benda itu tersemat di tubuhnya. Raga menyandarkan kepala pada jog mobil.
“Kalau kita nggak selamat. Gimana, Ndre?” lirihnya parau.
“Jangan ngomong kayak gitu. Berdoa, semoga Tuhan kasih jalan.”
“Kalau aku dan kamu mati di tempat ini? Gimana, Ndre?”
“Semua orang akan mati. Tapi, kita masih bisa berusaha dan selamat kalau kita nggak di takdirkan mati di tempat ini.” kataku sambil mencoba menstater mobil. Ztztztztz. Ztztztztz. Nggak mau menyala.
“Kalau aku mati gimana, Ndre?”
“Sudahlah, Ga! Dari tadi kamu ngomongnya bikin aku takut aja. Sekarang banyak berdoa aja biar kita selamat.”
Hampir satu jam kami menemui kebuntuan di tempat itu. Raga tampak lelah dan wajahnya semakin pucat ketakutan. Dia tidak punya semangat lagi. Hujan turun semakin deras dan jalan berkabut. Aku lelah karena mobil ini tak kunjung menyala. Di saat aku dan Raga menemui keputus asaan. Dari kejauhan aku melihat ada bayangan rombongan orang yang datang dari arah barat menuju timur dan akan melewati mobil mogok ini. Aku tersenyum bahagia, bantuan segera datang. Alhmadulillah.
“Ga, lihat ada mobil…” kataku pada pemuda yang seketika itu juga bersemangat. Dia memperhatikan iring-iringan di depan sana. Mata kami seketika membulat. Rombongan yang aku kira adalah mobil atau kendaraan sepeda motor, tenyata rombongan itu membawa keranda mayat. Kurungan batang, dan peti mati yang sepertinya siap untuk di kuburkan. Aku membuka kaca jendela mobil perlahan, dengan senter pijar, aku menyinari rombongan itu.
“Astagfirullah…” kataku terkejut. Ternyata keranda mayat itu di pikul oleh rombongan manusia tanpa kepala dan di ikuti beberapa pocong di belakangnya. Kaki mereka melayang dan tidak menginjak aspal. Sontak aku merinding melihat kejadian itu. Hujan turun semakin deras. Dan aku penasaran dengan isi keranda yang tidak di tutupi ornamen kain berlafaz syahadat seperti biasanya. Lalu, terlihat sosok mayat di dalam keranda itu. Wajahnya familiar. Mayat itu seperti jenazah orang yang kami letakkan di dalam rumah tua di simpang jalan. Beruntung rombongan itu tidak menggangu kami. Aku terus memperhatikan rombongan itu melayang cepat dan pergi menuju utara. Mereka menghilang saat melintas ke arah jalan sempit dan hilang di dalam jurang. Aku bergidik.
“Mereka hantu, Ga!” kataku seiring melengos Raga.
“Astagaaaaahh!!!”
Betapa terkejutnya aku ketika melihat Raga telah berubah menjadi sosok mayat penuh dengan luka dan darah di sekujur tubuhnya. Matanya terpejam dengan wajah pasi menghadapku. Lalu disaat aku panik dan takut teramat berlebihan. Sebatang pohon tersambar petir dan jatuh menimpa mobilku. Gelap.
***
Sebulan aku siuman dari koma. Aku masih di rawat di rumah sakit Jati Asih. Tidak kusangka seorang pemuda meminta izin dokter guna menemuiku. Dia terlihat tampan dan gagah dengan jaket kulitnya yang berwarna hitam. Dokter mengizinkan dan mewanti-wanti agar aku tidak terlalu di ganggu karena masih dalam masa perawatan. Lelaki itu mengangguk. Kemudian dia duduk di sebelah ranjangku.
Aku dan lelaki itu terlibat obrolan panjang. Membicarakan kronologi kecelakaan yang menimpaku malam itu. Aku terkejut ketika lelaki yang ternyata polisi bernama Rudi itu adalah kakaknya Raga. Dan, sebenarnya dia menemuiku saat tahu rumah lama mereka di tempati seseorang. Yaitu aku. Rudi mejelaskan, adikanya meninggal setengah tahun yang lalu karena kecelakaan di jalan dekat pantai Selandri. Motornya ringsek dan saat ini ada di bagasi rumah yang ku tempati. Dan aku baru sadar, kalau Raga selama ini adalah arwah gentayangan yang ingin mayatnya di kubur dengan tenang. Rudi bercerita kalau sampai sekarang ini, mayat adiknya belum di ketemukan. Sontak aku teringat dengan kejadian mengerikan itu.
Aku memberitahukan Rudi di mana mayat Raga berada. Karena aku merasa orang yang kecelakaan itu adalah Raga. Dan pocong di jalan itu adalah raga. Lalu, mayat yang ada di dalam keranda itu adalah Raga. Hingga mayat yang selama ini ikut naik bersama mobiku juga Raga. Sehari setelahnya, Rudi dan anggota polisi lainnya berhasil menemukan mayat Raga yang telah menjadi tengkorak, lalu menguburkannya di TPU setempat. Rudi banyak berterima kasih padaku. Dia mempersilahkan jika aku mau menempati rumah itu sampai aku selesai kuliah. Di atas pemakanan Raga, aku melihat lelaki tampan tersenyum mengenakan gamis putihnya yang bersinar. Setelah itu dia menghilang. Aku dan Rudi berjalan meninggalkan pemakanan beriringan. Hal yang membuatku terkejut adalah, ketika tangan kasar keluar dari makam dan menarik tubuhku hingga aku masuk ke dalamnya. Di sana, aku melihat diriku telah menjadi pocong.

Cerpen karangan: Jibril
Twitter: @jibril1990
Facebook: Jibril Al Muchliesh Zhien

Sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-horor-hantu/tanpa-batas.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar